Memaafkan Itu Mudah. Benarkah?




Saya bertemu teman lama di acara reuni awal tahun lalu. Kami sudah lama sekali putus kontak. Kami pun ngobrol ngalur-ngidul. Diantara keseruan kami ngobrol tiba-tiba dia berkata, 

"Aku dulu tuh marah sekali sama kamu, Gik. Kamu tiba-tiba menghilang. Pergi begitu saja tinggalkan aku. Tanpa ada ucapan apa-apa. Mbok ya kalau ada kata-kata atau sikapku yang salah tuh bilang. Kita selesaikan baik-baik." Saya hanya terdiam sambil melihat teman saya ini berbicara dengan mata berkaca-kaca. 

"Ditinggal pas lagi sayang-sayangnya itu menyakitkan banget."

Kami dulu memang sahabat dekat. Kemana-mana berdua. Saling berbagi cerita suka dan duka. Saling menyimpan rahasia satu sama yang lain. Banyak yang menyangka kalau kami saudara kandung. Saat itu sempat terjadi salah paham. Iya saya marah dengan apa yang dia ucapkan. Namun saya memilih pergi begitu saja meninggalkan dia. Saya malas berurusan dengan dia lagi. Saya menghindari dia berkali-kali. Hingga akhirnya hubungan kami merenggang. Dia pindah ke kota lain. Begitu pun saya. Kami putus kontak. Bahkan kami saling blok di media sosial.

Sekarang, kami berbicara dari hati ke hati untuk menyelesaikan masalah di masa lalu. Kami berbicara panjang lebar. Saling menumpahkan isi hati masing-masing. Kami selesaikan segala kesalahpahaman. Tidak ada kemarahan sama sekali bakan malah sambil tertawa geli. Ya ampun betapa konyol kelakuan kami musuhan pada waktu itu. 

Saya pun meminta maaf sedalam-dalamnya atas perlakuan saya di masa lalu itu. Meskipun sebenarnya saya baru tahu kalau ternyata dia masih belum memafkaan. Saya merasa bersalah. Ternyata kemarahan saya berimbas pula pada dia, yang jadi marah sama saya. 

"Kayaknya bukan cuma aku yang pernah kamu perlakukan seperti ini." Saya cuma nyengir tak mampu menjawab. Betul sekali. Ugik yang dulu kalau marah dengan seseorang memilih untuk pergi begitu saja. Bukannya meredakan kemarahan dan menyelesaikannya masalah.

"Kayaknya kamu harus minta maaf sama mereka. Mungkin mereka belum memafkan sepenuhnya perlakuanmu dulu, sama seperti aku." Saya hanya bisa menghembuskan nafas, "Daripada mereka menagih maaf dari kamu di akhirat. Kan malah berabe nantinya."

Haduh. Kenapa juga bawa-bawa akhirat. Saya kan jadi gemeter gini ini. Begitu sampai rumah, saya langsung bikin daftar. Saya gali ingatan lama. Lho kok ternyata banyak. Semuanya sudah hilang kontak bertahun-tahun. Saya cari nama mereka di media sosial. Beberapa ketemu. Saya kirim pesan pribadi. Ada yang jawab dan banyak yang tidak, Saya bawa nama-nama di list dalam doa setiap selesai sholat. Saya mohon bantuan Allah untuk membuka jalan saya untuk meminta maaf.

Saya sadar untuk menyambung hubungan dengan mereka adalah suatu hal yang tidak mudah. Tapi saya percaya Allah akan membantu saya. Niat saya baik insyaa Allah dimudahkan semua jalan. Alhamdulillah saya seperti dibukakan jalan untuk berhubungan dengan mereka lagi. Ada saja kesempatan tak terduga yang tiba-tiba muncul di depan mata.

Alhamdulillah satu persatu tugas minta maaf bisa saya selesaikan dengan baik. Tinggal satu orang yang tersisa. Ini yang paling berat. Sebenarnya lebih ke bingung bagaimana memulainya. Saya tidak hanya memutuskan hubungan dengan dia, bahkan dengan orang-orang di sekitarnya. Apalagi kejadiannya 21 tahun yang lalu. Kami sudah tidak bertemu dan berkomunikasi selama itu. Rasanya canggung untuk memulainya kembali.   

Memaafkan Sepenuh Hati
Saya masih maju mundur untuk meminta maaf. Ini bagaimana untuk memulai. Saya juga perlu menata hati. Sementara itu sahabat saya makin cerewet. Setiap ketemu dia selalu membahas masalah ini.

"Mungkin karena kamu belum bisa memaafkan dia. Kamu marah dengan apa yang dia lakukan. Terlepas dari apa yang dia lalukan benar atau salah ya. Kamu sudah berprasangka pada dia. Toh, kamu tidak tahu apa yang kamu prasangkakan itu benar atau tidak. Kamu jatuhnya sudah berprasangka buruk sama dia, kan."

"Mungkin kamu merasa tidak bersalah. Ngapain minta maaf. Kan dia yang salah. Kamu tidak terima. Ego kamu terluka. Masalahnya kan kamu tidak tahu apa yang dia lakukan itu memang benar atau hanya prasangkamu saja."

"Kalau memang kamu belum bisa memaafkan. It's ok. Pokoknya kamu minta maaf aja dulu. Mungkin saja dengan kamu minta maaf lebih dulu, kamu bisa ikhlas memafkan dia. Ini sudah 21 tahun. Mau sampai kapan kamu tidak akan memafkan dia."

Kata-kata sahabat saya terus terngiang. Saya bawa nama si 21 tahun ini dalam setiap doa. Saya mohon dilembutkan hatinya. Segala gengsi dan ego saya dihilangkan. Saya juga mohon bantuan agar saat proses meninta maaf nanti dimudahkan dan saya tidak dipermalukan.

Hingga suatu hari saya memutuskan. Inilah saatnya. Bertemu langsung sepertinya lebih baik dalam meminta maaf. Namun saya masih belum sanggup bertemu langsung dengan dia. Ya sudahlah lewat chat saja.

Bismillah. Saya ketik panjang lebar permintaan maaf. Saya tidak mengharapkan banyak. Pokoknya minta maaf. Urusan dia menerima maaf saya atau tidak terserah. Itu haknya. Tujuan saya untuk menggugurkan kewajiban. Itu saja. Saya sudah mempersiapkan hati untuk tidak dimaafkan. Bahkan saya sudah bersiap kalau nantinya dipermalukan. Alhamdulillah ternyata respon dia baik sekali. Saya jelaskan soal prasangka saya tentang dia puluhan tahun yang lalu.

"Aku memang dengar isu tentang aku soal itu. Trus hilang begitu saja. Sampai sekarang sudah gak terdengar lagi." jawabnya.

HAH. Isu. Maksudnya? Apa saya berprasangka buruk tentang dia beneran, nih. Seperti apa yang dibilang sahabat saya.

"Jadi itu cuma isu?" tanya saya untuk meyakinkan.

"Iya itu isu. Bukan beneran."

Begitu membaca pesanya, rasanya langsung plong. Tidak ada ganjelan di hati. Ah jadi benaran saya yang sudah berprasangka buruk. Betapa bodohnya saya. Kenapa saya harus menunggu puluhan tahun untuk masalah begini. Seharusnya saya konfirmasi dengan dia langsung. Tak perlu saya pergi meninggalkan dia begitu saja. Saya tak akan kehilangan teman baik. Jujur saya akui kalau dia salah satu teman baik, yang pernah saya temui. 

Peristiwa ini menjadi peringatan bagi saya, yang harus ditandai dengan garis tebal. Saya tidak boleh mengulangi lagi kesalahan yang sama. Saya jadi menyesal kan sudah kehilangan teman baik selama puluhan tahun. Baiklah, saya meyakini ini memang sudah takdir. Sudah ditakdirkan kita berpisah selama puluhan tahun dan kembali menjalin pertemanan saat ini.

Saya juga memetik pelajaran bahwa ternyata memaafkan itu memang mudah. Hanya diri ini saja membuatnya menjadi sulit. Segala prasangka dan persepsi bisa mempengaruhi hati dan logika. Kembali lagi pada kewajiban manusia untuk memaafkan apapun yang dilakukan orang lain. Entah memang benar salah atau tidak. Apalagi kalau ternyata cuma prasangka buruk. Semoga saya bisa konsisten untuk memaafkan orang lain dengan mudah. Begitupun kita semuanya. Aamiin. 





Komentar