Cegah Anak Terpapar Konten Negatif Saat Akses Internet


Anak-anak saat ini sangat akrab dengan internet. Ada anak yang setiap hari mengakses internet tanpa batasan dan pendampingan orang tua. Untunglah, masih banyak orang tua yang membatasi akses internet untuk anaknya. Banyak anak yang menggunakan internet untuk main game atau sekedar menonton video. Sekedar? Kata ini yang perlu digarisbawahi dengan spidol merah yang tebal.

Kata 'sekedar' ini menjadi alasan untuk membebaskan anak mengakses internet. Bahkan tanpa pendampingan dan batas waktu. Orang tua yang jadi menyepelekan efek buruk penggunaan internet pada anak. Internet seperti pisau bermata dua. Satu sisi bisa dimanfaatkan untuk kebaikan. Satu sisi akan membahayakan anak.

Tidak semua konten di internet bagus. Ada juga konten negatif. Begitupun dengan game. Ada juga game yang mengandung kekerasan. Banyak orang tua yang sudah paham tentang hal ini. Banyak juga orang tua yang mengganggap tak mungkin anaknya mengakses konten negatif. 

Padahal konten negatif bertebaran di internet. Bukan sekedar di website khusus video. Banyak pula yang beredar di media sosial (medsos). Paling susah dikontrol kalau media sosial. Bisa saja anak membuka gadget orang tua lalu membuka medsos pribadi orang tua. Anak asal klik atau tak sengaja melihat konten negatif di feed. 

Konten Negatif dan Kekerasan Digital Pada Anak

Pada 28 Juli 2022, saya dapat undangan untuk hadir di acara webinar yang diadakan oleh Firtual (Forum Literasi Hukum dan HAM Digital). Acara ini membahas tentang Proteksi Dini: cegah bahaya konten negatif dan kekerasan digital pada anak. Kebetulan saya dapat undangan webinar yang offline di Hotel Vasa Surabaya.

Selain temanya menarik para pembicaranya pun bikin antusias untuk nambah ilmu. Ada Bapak Josua Sitompul (Ketua Tim Hukum dan Kerja sama Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementrian Kominfo), Ibu Ciput Eka Purwianti (Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Yessyca Diana Gabrielle (Psikolog anak) dan Meisya Siregar.       

Tantangan dan permasalahan di dunia digital ada banyak. Hanya saja ada beberapa yang menjadi masalah pokok dan harus mendapat perhatian khusus. Kesenjangan digital diantara generasi dalam menggunakan tekhnologi. Banyak orang tua yang masih gagap tekhnologi. Sementara anak-anak sangat mudah menyerap dan mempelajari gadget. Jangan salah kalau orang tua suka kecolongan dengan apa yang sudah dilakukan anak dengan gadget mereka. 

Kita bisa bebas mencari sumber informasi di internet. Hanya saja tidak semua informasi tersebut benar. Orang tua harus mempunyai fungsi yang kuat sebagai filter informasi bagi anak-anak. Anak-anak yang masih terbatas wawasan dan cara berpikir, cenderung menerima informasi secara instan. Perlu pembelajaran agar anak mempunyai kebiasaan positif dalam mencerna data di ranah digital. 

Ada fenomena orang tua yang mengijinkan penggunaan gadget yang berlebihan pada anak. Mungkin saja karena kurangnya keterampilan parenting orang tua. Mungkin juga karena lemahnya pengawasan terhadap anak. Namun ada juga orang tua yang terobsesi dengan aktivitas online sendiri. Sehingga anak-anak meniru perilaku orang tua.  


Bahaya Konten Negatif untuk Anak

Orang tua harus sadar bahwa saat ini sedang menghadapi kondisi darurat pada dunia anak-anak. Darurat kekerasan anak, pedofil (kekerasan seksual), pornografi, narkoba, kebangsaan dan intoleransi serta pernikahan anak. Bukan hanya di dunia nyata. Kondisi darurat ini juga berlaku di dunia maya. Justru ancaman terbesar ada di dunia maya sebenarnya.

Negara tidak lepas tangan dalam situasi seperti ini. Sesuai dengan UU Perlindungan Anak pasal 76E: Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

Negara dalam hal ini Kemeninfo melakukan penghapusan berbagai konten negatif dan yang mengandung kekerasan. Hanya saja meski sudah dihapus, konten baru terus bermunculan. Langkah penghapusan masih terus dilakukan hingga saat ini. Perlu peran aktif juga dari orang tua sebagai benteng terdepan anak-anak. 

Sebagai orang tua harus tahu betul apa saja yang diakses anak selama berselancar di dunia maya. Anak-anak jangan sampai sering melihat konten negatif. Dampak konten negatif ini berbahaya. Jika sering melihat konten negatif maka paparan terus-menerus akan mengendap di memori. 

Paparan informasi terus-menerus ini bisa mempengaruhi dan mengacaukan mindset. Cara kerja pikiran akan bergesar atau berubah. Hal-hal yang negatif bisa dianggap biasa atau menyenangkan. Secara perlahan pikiran 'membaca' bahwa hal-hal yang aneh, ganjil atau menyimpang menjadi hal yang wajar. Sesuatu yang boleh dilakukan atau mengasyikkan.

Saya pas dengar sesi ini asli merinding. Berat sekali tugas kita sebagai orang tua jaman sekarang. Anak-anak tidak hanya perlu dijaga saat berada di dunia nyata. Penjagaan maksimal juga harus dilakukan saat anak masuk ke dunia maya.

Kekerasan Pada Anak 

Saat sesi terakhir, Ibu Yessyca Diana Gabrielle memberikan materi tentang kekerasan pada anak. Kekerasan verbal ini malah yang berbahaya. Tidak ada jejak fisik. Orang tua seringkali 'kecolongan'. Kalau anak tidak cerita, orang tua tidak akan tahu. Banyak kasus, orang tua tahu setelah anak mengalami depresi akibat kekerasan verbal yang sudah parah. 

Kekerasan verbal di dunia maya bisa terkoneksi ke dunia nyata ataupun sebaliknya. Saling ejek di media sosial (medsos) nyambung ke dunia nyata. Pelaku kekerasan di dunia maya ada yang dari teman-teman di dunia nyata. Terutama dialami pra-remaja dan remaja yang sudah punya medsos.


Kekerasan apa saja yang biasanya terjadi di dunia maya? Lebih kearah kekerasan verbal (tulisan). Misalnya komentar negatif di medsos, menghina, mengejek, body shamming. Paling parah adalah ancaman terhadap seseorang atau sesuatu. Kasus kekerasan verbal ini berdampak berat secara psikologis bagi anak pada masa puber. 

Perasaan yang dialami oleh korban kekerasan baik fisik dan verbal, yang pertama muncul adalah perasaan marah. Marah dan kesal dengan kejadian yang menimpa mereka. Marah, malu dan kecewa pada diri sendiri karena membiarkan kejadian tersebut. Perasaan marah karena tak mampu menyelesaikan masalah tersebut juga muncul. 

Terakhir ini termasuk tidak berani melaporkan perilaku pelaku kekerasan pada orang dewasa. Anak takut dicap penakut, tukang ngadu atau bahkan disalahkan oleh orang dewasa.

Berbagai perasaan yang berkecambuk ini yang membuat anak mengalami depresi. Anak berusaha menekan kemarahan sedalam mungkin. Sementara itu, dia mendapat kekerasan terus dari pelaku. Tak heran ada anak yang sampai bunuh diri karena merasa sudah tidak kuat lagi menanggung beban psikologis. 

Inilah perlunya orang tua melakukan pendampingan (proteksi dini) terhadap anak. Orang tua harus sadar dan cerdas. Maksudnya orang tua harus peka terhadap perubahan perilaku dan psikis anak. 

Caranya dengan menjadi pendengar dan teman yang baik untuk anak. Bangunlah kedekatan psikologis sejak dini. Luangkan waktu untuk temani anak dan berbincang. Lakukan deep conversation. Bukan sekedar berbincang sambil lalu. Sambil nonton televisi, sambil jalan-jalan atau sambil yang lain. 

Jika anak mengalami kekerasan bawalah ke psikolog untuk pertolongan lebih lanjut. Kapan anak perlu dibawa ke psikolog? Saat anak menunjukkan perilaku depresi seperti berikut ini:

- Mudah emosi. Bisa juga anak yang biasanya tenang jadi mood swing.

- Ada gangguan makan. Tidak napsu makan, anorexia atau sakit maag berkepanjangan. 

- Gangguan tidur (insomnia atau sering mimpi buruk)

- Ngompol. Pada anak usia setelah balita masih ngompol ini lampu merah untuk orang tua. Anak pra-remaja atau remaja bisa mengalami ngompol jika tingkat depresi tinggi.

- mudah cemas

- takut berlebihan pada sesuatu atau seseorang

Masyaa Allah begitu besar amanah menjadi orang tua. Harus juga belajar psikologi. Biar paham betul dengan apa yang sedang terjadi pada psikis anak. Untunglah saya blogwalking ke kamar kenangan. Bagi saya sebagai Ibu, kesehatan mental penting sekali. Mental Ibu harus waras terus biar tetap tenang mendampingi keluarga terutama anak dalam segala situasi.   

Komentar

  1. sebenarnya anak-anak awal-awalnya tertarik dengan dunia mereka, munculah iklan sna-sini dengan persuasi yang negatif. Lagu yang kurang baik, musik yang tidak bukan pada umurnya dan lain-lain. Menjadikan jalan ke jenjang selanjutnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah si iklan ini yang sering bikin gara-gara. Anak-anak jadi nggak sengaja lihat. Penasaran trus di klik. Kalau pas iklannya konten negatif ya ini yang bahaya.

      Hapus

Posting Komentar