Cerpen : Payung

"Sik. Pak. Bentar." Bapak terdiam.

Sementara Ibu melepaskan tangannya dari genggaman Bapak. Wanita tersebut dengan cepat masuk ke toko di sebelah kiri mereka. Setelah terdiam agak lama, Bapak berdiri di pintu masuk toko. Menoleh ke kanan dan kiri. Tak kelihatan Ibu. Lelaki berambut abu-abu tersebut balik badan. Beliau berjalan ke arah kiri. Diam. Berdiri bersidekap sambil melihat lalu lalang orang.

"Yuk, Pak." seorang wanita muda tiba-tiba berada di sampingnya.

"Bentar. Ibumu ilang."

"Loh, Ibu kemana tadi?" wanita muda itu menatap Sang Bapak dengan cemas.

"Masuk ke situ." jawab Bapak sambil menoleh ke kanan. Tangan kanannya menunjuk ke arah pintu masuk toko.

"Walah. Kalau itu sih bukan ilang, Pak. Ngi-lang. Hehehe." Bapak dan anak tersebut tertawa terkekeh, "Mas, bentar. Ibu masih belanja."

Wanita muda itu, Nik namanya. Menepuk lengan seorang pria muda. Nik menarik lengan suaminya ke samping Bapak. Pria muda itu hanya tersenyum kecil. Dia kembali fokus pada ponsel di tangannya. Dia adalah Pri, suaminya Nik.

Tak lama kemudian seorang wanita paruh baya menghampiri mereka. Wajahnya ceria dengan membawa 3 benda panjang dengan aneka warna cerah. Tangannya mengangkat ketiga benda tersebut sambil tertawa.

"Murah, loh." ucap Ibu dengan nada riang.

"Payung, lagi." Bapak mengetatkan sedekap tangannya. Wajahnya melengos ke kiri.

"Gede-gede. Bahannya tebal. Warnanya juga bagus-bagus. Diskon lagi. Beli 2 dapat 3." Ibu memamerkan payung-payung tersebuat. Beliau membuka satu payung lalu diputar-putar.

"Payung di rumah sudah banyak. Buat apa beli lagi." ucap Bapak sambil bersungut-sungut. Pri segera memasukkan ponsel dalam saku celana. Pria muda ini mendekati Ibu. Tangannya dengan gesit mengambil alih 3 payung besar tersebut dari tangan Ibu.

"Wis, To. Pasti berguna, Pak. Payung tetap dibutuhkan musim hujan atau panas. Kan, sedia payung sebelum hujan. Terima kasih, ya Le."

"Ya udah. Ayo, wis balik. Ditunggu Mbakyumu. Beli kue aja kok lama." Bapak langsung berjalan dahulu. 

Ketiga anak-beranak tersebut mengikuti dari belakang. Bapak berjalan sambil mengaitkan tangan di punggung bawah. Telapak tangan kanan memegang erat pergelangan tangan kirinya yang mengepal. Pri berjalan di belakang Bapak sambil membawa ketiga payung besar. Barisan belakang ada Nik yang menggandeng lengan kiri Ibu. Tangan kirinya membawa kotak besar berisi kue lapis Surabaya kesukaan Budhe Mi.

Baru beberapa meter rombongan kecil itu berjalan, hujan turun. Mereka berempat berjalan beriiringan menyusuri lorong Pasar Modern tersebut. Ketika sampai di pintu keluar ternyata hujan turun deras. 

"Saya ambil mobil dulu ya, Pak." Bapak mengangguk kecil. Tangannya kembali bersedekap di depan. Pri membuka salah satu payung. Nik segera menghampiri suaminya. Kotak roti diberikan ke Ibu. Nik menggulung celana suaminya dengan cepat.  

"Untung sedia payung sebelum hujan." kata Ibu sambil melirik Bapak. Bapak menghela nafas panjang. Pandangannya lurus ke tempat parkir. Ibu melirik Bapak sekali lagi sambil tersenyum penuh kemenangan. Sementara Bapak masih asyik menatap derasnya hujan.

Hujan mengguyur dengan deras di sepanjang perjalanan. Untunglah belum macet. Jarak Pasar Modern ke rumah Budhe Mi hanya 5 km. Perjalanan dengan mobil tak ada kendala. Masalah datang saat mendekati rumah Budhe Mi. Mobil harus diparkir depan gang. 

Mereka harus jalan kaki sekitar 300 m di tengah hujan deras. Untung saja tadi Ibu beli 3 payung baru. Ada 1 payung lagi di mobil. Mereka bisa memakai payung tiap orang. Tak perlu sepayung berdua. Tak perlu kuatir baju basah karena derasnya hujan.

#    #    #

"PAKET!"

Nik langsung menuju ke pintu ruang tamu. Ini adalah paket yang sudah ditunggu-tunggu sejak dua hari yang lalu. Hasil perburuannya saat hari diskon. Seharian itu, dia terus anteng dengan ponselnya. Demi mendapatkan kosmetik incarannya.

Tak begitu lama dia sudah kembali dengan paket di tangan. Senyum terus tersungging. Layaknya anak kecil yang baru mendapatkan mainan baru. Nik segera membuka paket tersebut. Kedua anaknya yang mendekati dengan antusias tak dihiraukannya. Kedua anak tersebut bertanya pun tak dijawabnya. Nik fokus membuka paket yang ada dipangkuannya.

Nik mengeluarkan foundation, bedak dan tiga lipstik keluaran merek Eropa. Sudah lama Nik menginginkan kosmetik tersebut. Untunglah ada diskon 50%. Akhirnya terbeli juga kosmetik idamannya.

"Kosmetik, lagi." ucap Ibu yang tiba-tiba sudah berdiri di depan Nik.

"Murah kok Bu. Lagi diskon gede banget." jawab Nik sambil tersipu malu.

"Daripada beli kosmetik, mending buat beli makan. Lagi pandemi gini jarang pergi, jarang pakai make up. "

"Tenang, Bu. Ini belinya pakai sisa uang belanja, kok."

"Sisa uang belanja itu ditabung. Bukan malah buat beli-beli yang nggak jelas. Kosmetikmu kan masih banyak. Lipstik itu berapa puluh biji coba. Mbok ya cukup dua biji saja lipstiknya. Bedakmu juga masih banyak, kan? wong jarang dipakai. Kamu itu..."

Nik tiba-tiba berdiri. Dia membawa semua kosmetik baru, kardus dan bungkus paket ke dalam kamar. Tak dihiraukan Ibu yang masih berbicara. Pintu kamar ditutup rapat. Dia duduk di depan meja rias. Siap untuk berdandan. Tentu saja kosmetik yang baru datang akan menjadi sasaran pertama percobaannya kali ini. 

#    #    # 

Ibu mendekati Nik yang sedang mencuci piring. Hari ini Nik memasak sendirian. Ibu menemani Bapak kontrol ke Rumah Sakit.

"Nik, tadi ibu lihat pengumuman gede di depan sekolah Kakak. Pendaftaran gelombang pertama sudah dibuka. Mbak sudah didaftarkan?"

"Hmm. Mbak nanti daftar sekolah negeri, Bu."

"Loh. Kok gak masuk di sekolah yang sama kayak Kakak?" Nik terdiam. Dia menghentikan gerakan tangannya sebentar. Nik tetap menduduk. Dia memilih tidak menjawab pertanyaan Ibu.

"Kalau Adik mau masuk TK mana?" tanya Ibu lagi. Nik memejamkan matanya sebentar. Dia menghela nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan Ibu.

"Adik masuk TKnya tahun depan, Bu." jawab Nik pelan.

"Kenapa?" Ibu menurunkan gelas yang sudah mendekati bibir. Beliau menatap Nik lekat-lekat, "Uangnya nggak cukup?"

"Iya." Nik menjawab nyaris tak terdengar. Degup jantungnya semakin cepat. Sementara matanya mulai berkaca-kaca.

"Kamu ada tabungan?"

"Ada, Bu. Tapi nggak cukup kalau buat Mbak dan Adik masuk sekolah. Kakak kan harus bayar daftar ulang sekolah juga. Kantor Mas Pri tidak bisa kasih pinjaman untuk tahun ini." Nik menjawab dengan tersendat-sendat. Tangis sudah hampir pecah. Suaranya ditahan sepelan mungkin agar anak-anak tak mendengar.

Nik mencuci tangannya yang penuh sabun. Dia mengusap matanya dengan lengan baju. Air mata sudah tak bisa dibendung lagi. Ibu mengandeng tangan Nik dan membawanya ke kamar. Bapak asyik bermain dengan cucu-cucunya. Ibu menutup pintu. Nik didudukkan di samping ranjang. Ibu duduk di depannya.

"Kamu ini gimana sih, Nik. Sudah tahu anak mau masuk sekolah kok nggak nabung dari jauh-jauh hari. Anak masuk sekolah kan sudah pasti waktunya. Kamu kan bisa nabung nyicil tiap bulan."

Ibu terus bicara. Nik hanya bisa diam dan menunduk. Dia mendengarkan semua perkataan Ibu dengan air mata yang berlinang. Semua perkataan Ibu benar. 

Selama ini dia seharusnya bisa menabung dengan menyisihkan gaji suaminya dan sisa uang belanja setiap hari. Koin-koin kembalian kalau dikumpulkan sedikit-sedikit nanti lama -lama akan banyak juga. Seperti yang sudah diajarkan Ibu sejak awal menikah dahulu.

Sebagian gaji memang sudah ditabung. Begitupun uang sisa belanja juga sudah dia sisihkan untuk ditabung. Kalau pas ada diskon kosmetik, skincare atau baju lucu ya terpaksa dipakai dulu. 

Selama ini Nik belanja tak banyak. Dia juga belanja kalau ada diskon saja. Cuma sebulan sekali. Hanya seratus atau duaratus ribuan. Tidak pernah banyak memang. Namun kalau ditotal selama satahun lumayan banyak juga.

Kosmetik, skincare atau baju yang selama ini Nik beli juga bukan karena butuh. Hanya lapar mata saja. Tidak tahan melihat kemasan kosmetik atau skincare. Gemes lihat model baju yang lucu. Saat mendengar semua perkataan Ibu, Nik merasa jadi orang tua yang bodoh sekali. Tidak bisa berpikir panjang mementingkan kebutuhan anak-anak terlebih dahulu. 

"NIK!"

"Nggih, Bu. Nik salah. Nik minta maaf, Bu."

"Jangan diulang lagi, ya. Beli yang dibutuhkan saja. Kalau ada sisa uang ditabung. Sedia payung sebelum hujan, Nik. Janji ya?" Ibu mengela nafas panjang.

"Nggih, Bu."

Ibu berdiri dan menuju lemari. Beliau mengeluarkan kotak perhiasan emasnya. Kotak itu diletakkan di ranjang, di depan Nik. Dua lempeng emas batangan 5 gram beliau ambil. Lempengan itu beliau letakkan di tangan Nik. Tangis Nik semakin keras. Perasaan lega dan malu bercampur menjadi satu.



Foto : Ugik Madyo       

Komentar

  1. Wahhh jadi termotivasi buat menyisihkan uang dan menabung untuk masa depan, hemat hemat hemat.. Semangat kerjaaa aaaaa :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jaman sekarang kayaknya harus hemat ya. Kondisi ekonomi sedang tak menentu.

      Hapus

Posting Komentar