Cerpen : Hutang


"Jeng, minta tolong, ya. Saya butuh banget."

"Gimana ya, Mbak. Saya nggak punya kalau segitu." Ani menatap perempuan paruh baya yang ada di depannya. Raut wajahnya terlihat bingung.

"Seberapa yang Jeng punya, deh. Kalau order ini tidak saya ambil. Saya nggak bisa gaji anak buah saya buat bulan ini.

Ani terdiam mendengarkan ucapan Mbak No. Hatinya bimbang. Mbak No ada orderan pekerjaan dalam jumlah besar. Dia kekurangan modal. Sebagai sesama anggota komunitas pemilik usaha kecil, sudah biasa saling meminjamkan uang untuk modal. Ani dan Mbak No kebetulan memang bertetangga tapi tidak kenal dekat, meski rumah mereka hanya beda satu gang. Baru sekali ini Mbak No meminjam uang pada Ani.

Selama ini Ani berprinsip kalau meminjamkan uang dengan uang sisa. Uang yang ada di dana cadangan. Itupun tidak semuanya. Hanya seperempat. Buat jaga-jaga saja kalau seandainya si peminjam telat bayar. Biar tidak mengganggu pos-pos keuangan yang sudah terjadwal. Baik keuangan usaha atau dana rumah tangga. Sayangnya, Ani sudah tidak punya dana cadangan. Sisa dana cadangan habis untuk membayar gaji pegawainya bulan lalu.

Mbak No masih mengiba-iba di depannya. Ani paham betul apa yang dirasakan perempuan tersebut. Ani pernah mengalami kondisi tersebut. Kalau harus ambil pinjaman online bunganya besar. Sedangkan kalau pinjam ke bank prosesnya beberapa minggu. Padahal barang pesanan harus sudah selesai dalam waktu lima hari. Ani menghela nafas panjang.

"Mbak, beneran ya ngembalikannya awal bulan depan?" tanya Ani perlahan.

"Iya, Jeng. Iya. Saya janji. Awal bulan depan. Sebelum tanggal 7 eh sebelum tanggal 10 ding. Janji deh Jeng." jawab Mbak No dengan menyakinkan.

"Ini soalnya buat bayar suplier bulan depan."

"Iya, Jeng. Saya janji. Saya kembalikan tepat waktu." ucap Mbak No dengan menganggukkan kepala berkali-kali.

Ani terdiam. Dia menunduk. Pandangannya tertuju pada pinggir meja di depannya. Ini pertama kalinya Ani melanggar komitment yang sudah dia buat sejak bertahun-tahun yang lalu.

"Jeng. Jeng Ani."

"Eh, iya. Sebentar ya, Mbak." Ani tergeragap. 

Dia bangkit berlahan dan menuju kamar. Wanita tersebut membuka brangkas. Dia menghitung uang dengan perlahan. Brankas ditutup. Ani duduk di tepi ranjang dengan menggenggam erat uang dipangkuannya.

Ada telapak tangan yang tiba-tiba menyentuh bahunya, "Ada apa, Bu."

"Nggak apa-apa." jawab Ani cepat karena kaget. Sang Suami sudah duduk disebelahnya.

"Kalau ragu-ragu lebih baik nggak usah saja." 

"Sudah terlanjur tak iyain eh Pak. Bismillah, niat nolong. Kasihan, Pak." ucap Ani sambil tersenyum. 

Dia menatap suaminya. Lelaki itu masih memandangnya dengan dahi berkerut-kerut. Ani mengelus-elus jambang pipi kiri suaminya.

Sebenarnya Sang Suami tidak suka dengan kehadiran Mbak No. Jam 9 malam, datang ke rumah orang. Gedor-gedor pagar dengan kencang. Bertubi-tubi pula. Apalagi datang hanya untuk pinjam uang. Besok pagi kan masih bisa. 

Apalagi setelah mengetahui kalau Mbak No dan Ani bukan teman dekat. Hanya teman satu komunitas yang kebetulan bertetangga. Mereka jarang berinteraksi pula. Sang Suami memang tidak mau menemui Mbak No. Beliau memilih duduk di ruang keluarga yang bersebelahan dengan ruang tamu. Tentu saja semua percakapan kedua wanita tersebut didengarkan dengan sangat cermat.

Mbak No segera pulang setelah menerima uang. Ani menghela nafas saat tubuh perempuan paruh baya itu menghilang. Ani menutup pintu pagar perlahan. Sang suami ternyata berdiri di pintu. Mereka berdua berpelukan sambil masuk rumah.

#     #     #

Ani menghela nafas panjang. Dia menggenggam erat invoice supplier sedari tadi. Sudah tanggal 10. Dua hari lagi tagihan ini harus sudah dilunasi. Ani meraih ponsel. Tak berapa lama muncul nama 'Mbak No Usaha Bersama'. Nada panggil terdengar. Tidak ada jawaban. Sama seperti kemarin. Sedari pagi sudah empat kali ditelepon. Tetap sama tak ada jawaban. Ani melihat jam di ponsel. Jam 4 sore. Dia terdiam cukup lama.

Ani mencoba sekali lagi. Nada sambung lagi. Ani menarik nafas panjang. Dia mencoba sekali lagi, masih tetap nada sambung. Ani menundukkan kepalanya. Dia terdiam beberapa saat.

"Tin, boleh aku pinjam ponselmu sebentar. Nanti aku ganti pulsanya." Ani menoleh ke pegawai yang berada di sebelah mejanya.

"Ini, Bu." Seorang gadis muda menyerahkan ponsel dengan dua tangan. Ani penerimanya sambil mengucapkan terima kasih. Ani membuka ponselnya dan mengetik beberapa nomer pada ponsel pegawainya. Lalu dia menekan icon panggil. Nada sambung terdengar. Tak lama suara perempuan menyahut di seberang sana.

"Mbak, saya Ani. Saya dari kemaren telepon Mbak, kok gak nyambung terus. Saya ma..." Ani mendadak terdiam.

"Oh, gitu." Ani menyadarkan punggungnya ke kursi, "Mbak, soal pinjaman kemarin. Saya minta tolong segera dikembalikan. Dua hari lagi, saya harus bayar ke supplier."

Ani terdiam sekali lagi. Dia masih bersandar sambil bersedekap. Dahinya berkerut-kerut.

"Mbak kan sudah janji akan bayar sebelum tanggal 10. Ya, gimana ya, Mbak. Saya butuh banget uang itu untuk bayar supplier."

Ani menarik nafas panjang dan menghembuskan dengan keras. "Alhamdulillah. Baik. Saya tunggu besok siang ya. Terima kasih. Assalamuallaikum."

Ani melihat ponsel di tangannya. Dia meletakkan ponsel itu di meja. Bersebelahan dengan ponselnya. Terucap doa lirih dari bibirnya yang dilantunkan dengan sungguh-sungguh. Semoga Mbak No kali ini menepati janjinya.

Ani berdiri dan berjalan ke arah gadis muda yang sedang tekun melipat kardus kecil. Ani menyerahkan ponsel dan uang lima puluh ribu.

"Terima kasih ya, Tin. Ini uang pulsanya"

"Wah, kebanyakan ini, Bu."

"Gak papa."

"Terima kasih banyak ya, Bu." Tin melihat Ani dengan wajah berbinar. Ani tak menjawab, dia hanya tersenyum. Lalu dia berjalan pelan keluar dari ruangan.

#     #     #

Ani berjalan bergegas sambil mengusap air matanya. Masih terngiang ucapan Mbak No. Setiap kali ingat ucapannya, air mata keluar tanpa bisa dibendung.

"Ada apa, Bu?" Suaminya menatap bingung saat melihat Ani masuk rumah. Untung saja pakai masker. Hanya suaminya yang menyadari ada yang berbeda pada dirinya. Beberapa pegawai terlihat bingung menatap Ani dan suaminya bergantian. 

Ani terus berjalan tak menghiraukan suaminya. Dia masuk ke kamar. Masker dan jilbab dihempaskan sembarangan. Wanita itu duduk di pinggir tempat tidur. Air matanya semakin deras. Dia menangis sambil menutup mulutnya erat-erat.

"Ada apa, Bu?" Tak lama, Sang Suami duduk di sebelahnya. Ani memeluk suaminya dan menangis keras. Seluruh kesedihannya ditumpahkan. Seluruh kejadian di rumah Mbak No terpampang lagi, layaknya film yang diputar ulang.

Kemarin, Mbak No tidak kunjung datang hingga sore hari. Berkali-kali ditelepon tak juga diangkat. Pakai ponsel Tin juga sama. Sampai malam tak ada kabar juga.

Pagi ini, Ani menagih hutang ke rumah Mbak No. Ani menduga Mbak No lupa. Mungkin sedang sibuk mempersiapkan pesanan barang. Kebetulan saat itu, Mbak No sedang di teras rumah berbincang dengan dua orang wanita. Saat Ani masuk, kedua orang tersebut masuk ke dalam rumah.

Mbak No menyambut kehadiran Ani dengan muka masam. Ani berdiri saja karena tidak dipersilahkan duduk. Ani langsung mengutarakan maksudnya. Mbak No langsung marah. Ani kaget. Padahal Ani bicara baik-baik dengan nada biasa. Bicara pun sambil tersenyum.

Mbak No bukan sekedar marah, dia juga mencaci-maki Ani. Tentu saja Ani shock. Pikirannya blank. Tidak ada sepatah kata pun terucap dari bibirnya. Setelah marah-marah sambil mencaci-maki, Mbak No langsung masuk rumah. Dia meninggalkan Ani yang masih berdiri mematung.

Ani memanggil Mbak No tapi tak juga keluar. Setelah panggilan ketiga, Ani terdiam beberapa lama. Ani lalu memilih untuk pulang. Air matanya berderai selama perjalanan pulang. Dia hanya ingin mengambil kembali uangnya. Kenapa diperlakukan seperti ini.

#     #     #

"Sudah ikhlaskan. Serahkan urusan hutang ini sama Allah. Biar Allah yang menagihkan utangmu." Ani masih menangis dipelukan suaminya. Lelaki itu berusaha menenangkan istrinya sedari tadi.

"Kalau kamu yang nagih utang. Uangnya akan kembali sesuai dengan jumlah uang yang kamu keluarkan. Kalau Allah yang nagih beda lagi. Air matamu, sedihmu, cemasmu, keringat dan lelahmu saat menagih dihitung juga. Bisa jadi habis semua harta orang itu karena diambil Allah buat melunasi hutangmu." Ani masih sesenggukan tapi dia mendengar semua ucapan suaminya. Hatinya sedikit ikhlas.

"Sudah berhenti nangisnya. Itu motorku dijual saja buat bayar supplier." ucap Sang Suami. Ani terkejut. Dia melepaskan diri dari pelukan Sang Suami. Dia menatap wajah suaminya lekat-lekat. Air mata kembali turun dengan deras.

"Tidak apa. Wong aku kan masih kerja di rumah. Aku bisa pakai motor kamu kalau perlu. Pakai ojek juga bisa." ucap suaminya sambil tersenyum.

Ani kembali memeluk suaminya dengan erat. Tangisnya datang lagi. Semakin lama semakin keras. Sang Suami terus berusaha untuk menenangkan istri tercinta.

Komentar