Review Buku The Road to the Empire Sinta Yudisia

review buku sinta yudisia review buku the road to the empire
Judul Buku : The Road to the Empire
Pengarang : Sinta Yudisia
Penerbit : Lingkar Pena Publising 
Tahun : 2008,cetakan 1


Pertama kali melihat saya langsung jatuh cinta pada tulisan judul. Unik. Dari tulisan itu sudah muncul kesan klasik. Apalagi efek ‘hilang’ pada beberapa bagian huruf, yang menggambarkan ada sesuatu yang tidak utuh atau terkoyak oleh kekuatan besar. Kesatria berbaju besi (hanya kelihatan dari belakang) Lengkap dengan pedang kembar saling menyilang. Pedang khas Arab ini menegaskan identitas sang pemilik sebagai seorang muslim. 

Gambar kesatria dengan aroma suram hawa kematian, kontras dengan dua wajah di kanan dan kiri yang menyejukkan. Wajah pria disebelah kanan saya menebak itu Takudar Khan. Wajah perempuan di sebelah kiri pada mulanya saya menebak itu Karadiza. Tapi bila menilik detil wajah mirip dengan deskripsi Almamuchi, dayang setia Takudar. Yang paling saya suka dalam sampul ini, gambar pasukan perang dengan gaya siluet dibawah gambar dua wajah. Setelah saya amati dari dekat, ternyata gambarnya detail. Gak kalah dengan gambar lain yang berukuran besar. Tri Widyatmaka hebat. Selain bisa menerjemahkan isi novel dalam bahasa gambar, memunculkan efek klasik, megah sekaligus suram, juga bisa memberi efek eye catching. Membuat mata ‘telanjang’ jadi penasaran dengan isinya. Starting point buku ini yang bisa meringankan beban kerja tim marketing dan distributor.

Novel ini dibuka dengan kisah pertemuan Kaisar Tuqluq Timur Khan (salah satu anak Jenghiz Khan) dengan Syaikh Jamaludin. Kesan mendalam pada Syaikh, membuat sang Kaisar menjalin hubungan erat bahkan mengikat sumpah Anda. Ketika terjadi kudeta di istana, kaisar Tuqluq Timur Khan dan permaisuri Ilkhata terbunuh. Pangeran pertama Takudar Khan melarikan diri dengan dayang setianya Ying Chin atau Uchatadara. Keduanya menyamar sebagai rakyat biasa, mengembara untuk melarikan diri. 

Hingga akhirnya Takudar Khan bertemu dengan Rasyiduddin, satu-satunya anak Syaikh Jamaludin. Rasyiduddin menyembunyikan Takudar Khan di tempat tinggalnya, Madrasah Baabussalaam. Selama dalam penyamaran, Takudar Khan merubah nama menjadi Baruji sedang Ying Ching atau Uchtadara menggunakan nama Almamuchi. Sedang Rasyiduddin lebih dikenal dengan nama Salim. Dalam perjalanan waktu merebut kembali tahta yang diduduki Arghun Khan (pangeran ke dua), Baruji memilih menjadi muslim.

Jalan panjang Baruji menuju tahta kaisar pun di mulai. Pertentangan batin Baruji sebagai seorang muslim namun juga seorang suku Mongol asli di lukiskan dengan memukau oleh penulis. Di satu sisi dia tidak setuju dengan pemerintahan otoriter yang memeras rakyat. Sementara di sisi lain dia enggan untuk bermusuhan (atau membunuh  bila di butuhkan) dengan adiknya sendiri. Suatu hal yang wajar terjadi pada suatu perebutan kekuasaan. 

Baruji awalnya pesimis bisa merebut kembali tahtanya, para kaum muslimin menyakinkan kalau dia bisa. Para kaum muslimin juga mempersiapkan segala keperluan untuk perang. Dalam kegundahan harus memerangi adik kandung dan bangsanya sendiri muncul Buzun (Pangeran ke tiga) yang mencarinya. Meski tahu dirinya muslim, tapi Sang Adik tetap menghargainya. Hal ini memunculkan kepercayaan diri pada Baruji untuk berjuang.

Penulis mendeskripsikan dengan teliti dan sabar tempat persembunyian, persiapan peralatan perang di ruang bawah tanah, rapat-rapat rahasia di tengah malam, latihan perang juga penyusunan strategi menjelang perang. Hal ini membuat saya menahan napas berkali-kali dan tak sabar ingin segera mengetahui apa yang terjadi berikutnya. 

Saya sempat mules menahan penasaran, harus sabar merayapi kata demi kata menjelang pertemuan Takudar dan Buzun. Hebat sekali penulis merangkai deskripsi setting cerita yang elok sekaligus mempermainkan emosi pembaca. Saya terhanyut dengan ambisi Selir Han Shiang. Geram dengan kekejaman Albuqa Khan. Gemas dengan kenekatan Urghana. Berlinang air mata demi Ankhnyam, Juz Jani dan Qaratai. Tergetar pada tuturan cinta yang halus dan lembut antara Almamuchi pada Baruji, Salim pada Almamuchi, Arghun pada Urghana atau Karadiza pada Baruji. Tersenyum simpul dengan letupan cemburu Karadiza pada Baruji. Cerita tentang cinta dituturkan dengan anggun dan bermartabat. Tidak berlebihan namun membekas cukup dalam dan memberikan nuansa hangat yang menggetarkan.

Pada awal bab 1 saya tertatih-tatih membaca novel ini. Kalimat-kalimat panjang juga deskripsi detail dengan menggunakan bahasa asli Mongol membuat saya harus konsentrasi penuh. Tapi setelah masuk bab 2 saya mulai menemukan ritme yang asyik untuk menikmati novel ini. Kalimat panjang mendayu serta deskripsi detail membuat saya terhipnotis untuk terus dan terus membuka halaman demi halaman. Meski pada akhirnya saya patah hati dengan ending cerita. Saya tidak menduga sama sekali kalau Almamuchi akan bernasib tragis. Ending yang tak terduga ini menimbulkan bekas mendalam.

Sebuah buku indah. Hanya dengan membacanya, saya seakan seperti melihat sebuah film panjang tentang perjalanan Takudar Khan dalam merebut tahta dan juga pencarian jati dirinya yang hakiki. Semoga suatu hari kelak buku ini bisa diwujudkan dalam sebuah film.

Ukuran font tulisan membuat saya cukup nyaman membaca. Jarak rata kiri kanan, atas bawah cukup nyaman. Meskipun buku ini tebal tapi tulisannya tidak terkesan penuh dan berdesakan. Ruang kosong yang lapang di bagian bawah halaman membuat mata saya bisa beristirahat sejenak sebelum membuka halaman berikutnya. 

Saya cukup menyesalkan kenapa buku ini tidak dicetak dengan mengunakan kertas putih. Buku dengan ketebalan 500 halaman lebih ini membuat mata minus seperti saya ini, bekerja dengan ekstra keras. Jika mata mulai lelah saya suka melihat detail gambar mungil di sebelah nomer halaman. Terlihat anggun. Serasi dengan font tulisan judul dan nama pengarang di sebelahnya yang berkesan klasik.  

Pada font tulisan judul (bagian bawah kanan) di halaman daftar isi terlihat berbeda dengan font di belakangnya. Font mirip hasil mesin ketik. Apakah ini memang disengaja untuk memberikan efek unik? 

Selain itu,  footnote juga bikin saya agak ‘panik’ mencari arti kata Bahasa Mongol. Penulisan begitu saja bahasa Mongol tanpa petunjuk urutan angka, juga susunan yang tidak berurutan dari deret atas sampai di bawah pada awalnya membuat saya susah untuk berkonsentrasi. Saya bolak balik membaca kata dan mencari arti katanya di bawah. Setelah cukup familiar dengan kata-kata bahasa Mongol itu, saya mulai bisa berkonstrasi dan menikmati dengan nyaman buku ini.


Note: 
Resensi ini pernah saya unggah di blog lama (ugik.multiply.com)


Foto: pinjam pakai dari Google


Komentar