Belajar Bahasa Ibu Dengan Membaca Nyaring

belajar bahasa ibu dengan baca nyaring


Tahun 2010, salah satu pekerjaan sambilan saya adalah menjadi guru les privat anak-anak SD. Suatu hari, saya ditelepon seorang ibu. Beliau meminta saya untuk mengajari anaknya membaca dan menulis. Anak ini berumur 5 tahun dan mengalami speech delay. Saya terkejut dengan permintaan Beliau. Sependek pengetahuan saya, untuk anak speech delay harus ditangani pelatih khusus.

Saat datang pertama kali, saya minta untuk berbicara dahulu dengan Sang Mama. Saya khawatir ada yang salah penanganan nantinya. Saya sengaja datang 30 menit lebih awal agar tidak mengurangi jam les si anak.

Gagap Bahasa

Untunglah Sang Mama sangat kooperatif dan komunikatif. Saya bertanya banyak hal tentang sifat dan segala apa yang disukai dna tidak disukai si anak. Beliau juga menceritakan tentang speech delay si anak. Sudah setahun ini, si anak menjalani evaluasi dokter, psikiater dan psikolog pertumbuhan anak. Akhirnya didapatkan diagnosa kalau anak ini mengalami speech delay karena gagap bahasa.

Pada awalnya, anak ini didiagnosa autis. Kemudian menjalani beberapa pemeriksaan dan terapi. Pindah beberapa dokter. Hingga pada dokter terakhir meminta pemeriksaan psikater atau psikolog. Orang tua malah membawa si anak ke psikiater dan psikolog. Justru dari keduanya ini malah mendapat kesimpulan kalau anak ini mengalami gagap bahasa, Anak ini tidak autis.    

Gagap bahasa adalah kondisi si anak menerima (mendengar) banyak bahasa dan dia tidak bisa menyatukan bahasa tersebut saat berbicara. Ada banyak bahasa yang digunakan semua anggota keluarga tersebut dan tidak ada yang dominan.

Mama bicara dengan papa menggunakan bahasa inggris. Mama bicara dengan Oma menggunakan bahasa Mandarin. Papa bicara dengan Oma menggunakan bahasa Inggris dan Bahasa Mandarin. Oma bicara dengan suster menggunakan bahasa Mandarin dan Jawa. Mama bicara dengan suster menggunakan bahasa Indonesia dan Jawa. Papa dan Mama bicara dengan anak menggunakan bahasa Inggris, Mandarin dan Indonesia. Oma bicara dengan anak menggunakan bahasa Mandarin. Suster bicara dengan anak menggunakan bahasa Jawa. Anak nonton televisi berbayar dan youtube film dan animasi berbahasa inggris.

Anak sudah masuk sekolah sejak umur 3 tahun. Dia mendapatkan pelajaran bahasa Indonesia, Inggris, dan Mandarin sejak umur 3 tahun. Dia lebih sering menggunakan bahasa Inggris dan Mandarin saat di sekolah. Anak sudah mengenal Bahasa Indonesia, Inggris, Mandarin dan Jawa sejak bayi dan tidak ada bahasa yang dominan.

Bisa di katakan kalau si anak ini tidak mempunyai Bahasa Ibu. Kalau menurut KBBI, pengertian Bahasa Ibu adalah bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak lahir melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya, seperti keluarga dan masyarakat lingkungannya. Si anak ini mengetahui berbagai bahasa yang ada di sekitarnya tapi dia tidak menguasai bahasa tersebut dengan baik.

Jadi secara mudahnya, otak si anak ini menerima berbagai kosakata yang didengar. Otak mengolahnya. Sayang si anak ini tidak bisa memahami tiap kosa kata yang ada. Anak kesulitan untuk mengartikan setiap kata. Anak juga susah untuk merangkai kata per kata karena tidak paham artinya.

Anak tahu apa yang diucapkan orang-orang di sekitarnya. Hanya saja si anak susah untuk memahami maksudnya. Saat si anak ingin berkomunikasi mengalami kebingungan kata mana yang harus digunakan. Ini yang membuat si anak kesulitan untuk berbicara. Anak bingung kata mana yang cocok untuk menunjukkan apa yang dia maksudkan.

Belajar Bahasa Ibu

Hingga akhirnya dibuat kesimpulan bahwa si anak harus belajar Bahasa Ibu dari awal. Harus ada satu bahasa dominan yang dipakai untuk sehari-hari. Hal ini harus dilakukan unutuk mengatasi gagap bahasa yang dialami si anak. 

Setelah mempertimbangkan banyak hal, diputuskan bahwa bahasa Indonesia yang akan menjadi 'bahasa pondasi' untuk si anak berkomunikasi. Ini juga berlaku pada semua orang dewasa di sekitarnya. Harus menggunakan bahasa Indonesia saat berkomunikasi dengan anak. Kecuali Papa yang warganegara asing yang belum menguasai bahasa Indonesia.

Saya memang dikontrak untuk mengajari si anak untuk membaca dan menulis. Ternyata tidak semudah itu. Anak gagap bahasa mempunyai problem yang kompleks. Masalah yang paling utuma adalah emosi si anak yang seringkali tak terkontrol.

Anak ini sebenarnya tidak bertemperamen buruk. Hanya saja kondisi anak yang bingung. Si anak tidak bisa mengucapkan apa yang dia inginkan. Sehingga orang-orang di sekitarnya ikut bingung menebak apa yang diinginkan si anak.

Si anak jadi kesal karena orang-orang di sekitarnya tidak paham apa yang dinginkan. Sementara itu dia sudah sangat ingin mendapatkan apa yang dimau. Si anak frustasi. Orang-orang di sekitarnya stress. Si anak ikut stress juga. Hanya emosi marah yang akhirnya keluar untuk meluapkan kekesalan di anak.

Butuh kesabaran ekstra. Saya bilang pada Sang Mama kalau proses belajar bahasa ini akan butuh waktu lama. Ada banyak hal yang terlibat di sini. Saya juga meminta kerjasama dengan Sang Mama dan Suster. Saat saya tidak ada, pelajaran dari saya harus diulang-ulang.

Saya menggunakan metode belajar sambil bermain. Kondisi emosi si anak tidak memungkinkan hanya untuk belajar. Anak ini juga cenderung pasif. Dia hanya mau mendengarkan. Sulit untuk diajak mengulang kata-kata yang saya ucapkan. 

Pada hari pertama, saya ingin tahu pemahaman dia tentang huruf. Dia sudah paham bentuk dan nama huruf yang saya sebutkan. Masalah terjadi saat dia harus menyebutkan huruf tersebut. Beberapa kali dia bisa menyebut huruf dengan bahasa Indonesia tapi seringkali bercampur dengan pelafalan bahasa Inggris dan mandarin. 

Membaca Nyaring

Saat pertemuan berikutnya, saya membawa buku-buku bacaan bergambar. Sengaja saya pilih tema aktifitas sehari-hari. Saya ingin anak mengenal banyak kosakata yang bisa dia gunakan saat dia ingin sesuatu di rumah. Saya sengaja pakai buku bergambar untuk anak 1-2 tahun yang baru belajar berbicara.

Saya perkenalkan kata makan, minum, tidur, pergi. mandi, pipis (buang air kecil), dan pup (buang air besar). Saya juga menyebut kata Papa, Mama, Oma, Mbak, Suster dan Pak berulang-ulang. Saat proses belajar saya baru tahu, kalau anak ini sebenarnya sudah tahu dan paham beberapa kata bahasa Indonesia. Hanya saja dia malas meenggunakannya. Bahkan cenderung malas bicara.

Saat hubungan kami sudah dekat dan sudah bisa berkomunikasi dua arah, baru lah saya tahu permasalahannya. Anak ini saat berbicara, pengucapannya tidak jelas. Pengucapan bahasa inggris maupun bahasa indonesia. Kalau bahasa Mandarin, saya tidak mengerti. Hal inilah yang membuat orang-orang di sekitarnya tidak paham dengan ucapannya. 

Anak ini kalau bicara selalu menggunakan satu kata saja. Dia belum bisa merangkai dua atau 3 kata dalam satu kalimat. Jika dingin makan misalnya. Dia hanya bilang 'akan' atau 'et' (untuk pengucapan eat). Pengucapan kata 

Saya akhirnya merubah strategi belajar. Pelajaran lebih fokus ke membaca. Saya membaca buku cerita anak berbahasa Indonesia dengan nyaring. Saya mnta si anak duduk mendengarkan saya membaca. Saya membacanya dengan cara mendongeng agar dia tidak bosan.

Sambil membaca nyaring, saya menunjuk kata yang ada di buku bergambar. Awalnya, si anak hanya duduk diam memperhatikan saya membaca. Dia juga lebih tertarik dengan ilustrasi cerita. Saya agak sedih melihat perkembangan ini.

Lama-kelamaan, dia mulai memperhatikan kata yang saya tunjuk. Lalu proses ini berlanjut dengan dia ikut menirukan ucapan saya. Meski dengan suara yang lirih. Tak apalah. Ini sudah kemajuan yang sangat besar dalam waktu 6 bulan.

Menyusun Kata

Melihat perkembangan ini saya ganti lagi metode belajar. Saya ganti buku bergambar dengan komik. Saya ingin mengajarinya untuk membuat kalimat percakapan secara tidak langsung. Masih tetap sama. Saya membaca nyaring komik bahasa Indonesia sambil menunjuk katanya.

Pada awalnya, dia hanya tertarik pada gambar. Sama seperti sebelumnya tapi tidak lama. Dia kembali tertarik pada tulisan. Dia ikut menirukan saat saya membaca nyaring. Tentu saja masih dengan suara yang lirih. Hanya saja sudah lebih lancar. Dia bisa menyamakan kecepatan bacanya dengan saya.

Suatu saat saya sengaja membaca kata yang tertulis dengan salah. Eh ternyata dia protes. 

"Salah, Miss. Ini 'batu' bukan 'bata'." ucapnya sambil menunjuk kata batu.

Alhamdulillah. Saya bahagia sekali dengan perkembangannya ini. Saya tidak menyangka dia akan mengoreksi secara langsung. Saya pikir dia tidak menyadari kalau bacaan itu salah.

Beberapa kali saya sengaja membaca salah. Ternyata dia langsung tahu dan langsung mengkoreksi bacaan saya. Bahagia sekali melihat perkembangannya ini. Saya lalu memberikan kesempatan dia untuk membaca. Ternyata dia menyambut dengan bahagia. Saya bebaskan dia untuk membaca yang dia inginkan.

Dia memilih komik. Meski membacanya masih dengan suara lirih, saya biarkan saja. Anak ini lumayan lancar membaca. Meski masih sering salah baca. Dia tidak marah ketika saya membetulkan bacaannya. Kalau ada kata-kata yang sulit dibaca, dia langsung bertanya.

Saat les, saya juga selalu bertanya banyak hal padanya. Saya melakukan ini untuk memancing anak agar bisa berbicara dengan menyusun kalimat. Bukan hanya menyebut satu atau dua kata saja saat berkomunikasi.

Saya juga minta Mama dan Suster untuk sering mengajaknya berbicara. Begitu juga dengan Papanya yang berkomunikasi dengan Bahasa Inggris. Saya ingin si anak ini tahu perbedaan arti kata antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Biar dia  tidak tertukar-tukar saat menyusun kalimat. 

Lama-kelamaan pengucapan kosakata sudah mulai benar. Sudah jelas terdengar. Lebih mudah dipahami oleh orang-orang di sekitarnya. Respon positif dari lawan bicara membuat si anak semakin percaya diri untuk banyak bicara.

Belajar Menulis

Lanjut ke tahap berikutnya adalah belajar menulis. Berhubung si anak sudah mulai lancar membaca maka saya mengajari dia menulis juga lebih mudah. Saya tidak mengeja huruf konsonan dan vokal satu persatu. Langsung menulis 1 kata.

Proses belajar menulis berjalan lancar tanpa hambatan yang berarti. Anak sudah mengingat banyak kosakata. Dia juga sudah bisa mengingat susunan huruf pada suatu kata. Dia tinggal menuliskan kembali apa yang dia ingat selama ini. 

Meski si anak sempat mengalami krisis percaya diri karena tulisannya yang tidak bagus. Bahkan tulisannya tidak boleh saya baca. Maka saya koreksi dengan cara menunjukkan huruf dari kata yang saya sebutkan tadi.

Misalnya nih. Saya ingin dia menulis 'tidur siang'. Dia menulis sambil ditutupi pakai buku sebagai penghalang. Padahal dia duduk menjauh sekitar 2 meter dari saya. Saya juga menulis kata yang saya suruh dia tulis. Setelah dia selesai menulis, saya menunjukkan tulisan saya. Dia akan mencocokkan dengan tulisannya. Kalau ada yang salah, dia jujur akan bilang salah.

Seperti main kuis. Saya biarkan saja metode belajar seperti ini. Saya sengaja memberikan waktu pada dia untuk merasa percaya diri dengan hasil tulisannya. Ini juga sebagai cara si anak untuk belajar jujur dan bertanggung jawab meski tanpa diawasi.

Pada awalnya, Sang Mama tidak menyetujui cara ini. Dia memarahi anaknya. Untunglah beliau paham setelah tahu tujuan saya membiarkan si anak seperti itu. Proses belajar membaca dengan cara membaca nyaring masih terus saya lakukan. Saya mulai membaca novel anak yang lebih banyak tulisannya dengan sedikit gambar. Sehari hanya 4-5 halaman. Nanti si anak akan melanjutkan apa yang kami baca saat les. Dia membaca sendiri meski tak ada saya dengan ditemani Suster.  

Komunikasi Lancar

Si anak sudah mulai lancar berbicara. Dia sudah bisa bicara dengan kalimat panjang. Dia juga sudah percaya diri untuk bercerita tentang banyak hal. Biasanya kami harus memancing dia dengan banyak pertanyaan. Barulah dia akan bercerita banyak. Hal ini tidak berlaku lagi. Dia sudah lebih sering bercerita sendiri.

Kondisi emosinya juga jauh lebih stabil. Dia sudah jarang marah yang sampai trantum. Pembawaannya lebih sering ceria. Dia lebih percaya diri dan berani melakukan hal-hal baru. Melihat perkembangan emosinya yang positif ini kami snagat bahagia. 

Si anak sudah paham perbedaan kosakata bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Jawa dan bahasa Mandarin. Pondasi bahasanya sudah kuat. Dalam waktu 2 tahun, anak ini sudah paham akan perbedaan dan penggunaakan kosakata yang tepat dalam keempat bahasa tersebut.

Masalah si anak ternyata ada hikmahnya. Sang Papa ikut giat belajar bahasa Indonesia selama 2 tahun tersebut. Beliau mulai lancar menggunakan bahasa Indonesia. Beliau jadi lebih mudah berkomunikasi dengan Oma, Suster dan Mbak di rumah.

Pertemuan dengan keluarga ini telah memberikan pelajaran baru buat saya. Ternyata speech delay tidak hanya dialami anak autis. Anak yang sejak bayi terpapar beberapa bahasa dan tidak ada bahasa yang dominan bisa menyebabkan speech delay.

Selain itu, saya juga jadi lebih yakin lagi pada kekuatan mendongeng bisa meningkatkan kemampuan komunikasi pada anak. Kebiasaan membaca nyaring memang harus dilakukan sesering mungkin. Anak jadi lebih mudah mengingat kosakata baru. Anak juga jadi lebih cepat bisa membaca dan menulis.

Perkembangan anak ini termasuk pesat selama 2 tahun. Saya mulai mempersiapkan diri untuk meninggalkannya. Semoga semakin banyak orang tua yang mau mendongeng sejak anaknya masih bayi. Semoga semakin banyak pula orang tua yang tidak malu untuk membaca nyaring di depan anak-anaknya.     


           

Ilustrasi : Tya Aristya

Komentar