Balada Amplop Kosong

Musim hujan. Musim nikahan. Halah. Pembukaan yang nggak banget. Judulnya juga nggak banget. Berasa kayak sinetron dengan soundtrack dangdut India aduhay hehe.

Kali ini saya kondangan bersama teman. Suami lagi ada keperluan lain, Beliau cuma bisa antar jemput. Saya janjian bertemu dengan teman ini di parkiran depan gedung resepsi. Dia masih asyik dandan di mobil ketika saya datang.

"Bawa amplop kosong?" Saya menyodorkan amplop.
Selesai beres-beres alat make-up. Dia segera memasukkan uang dalam amplop. Kita pun segera menuju ke gedung resepsi. Salam-salaman. Keliling cemil-cemil makanan. Sambil haha hihi bareng teman lama. Tak lupa foto-foto dalam berbagai gaya. Acara malam itu ditutup dengan acara pamitan yang tak kunjung selesai. Meski bye berkali-kali terucap. Namun obrolan tak kunjung selesai.



Ah ya... ini yang saya mau ceritakan. teman saya ini mempunyai kebiasaan yang unik. Setiap kali datang ke acara nikahan atau khitanan dia selalu memberi amplop kosong. Tidak ada tulisan namanya. Aneh. Padahal sudah maklum adanya kita sengaja ngasih nama di amplop sebagai tanda absen ke tuan rumah. Peninggal jejak bahwa kita hadir di acaranya.

Pernah saya tanya ke dia. Kenapa amplopnya selalu nggak dikasih nama. Untuk menghapus 'hutang' amplop. Apaan sih? jawaban yang aneh. Yah, saya dulu punya pemikiran seperti ini. Namun setelah mendengar penjelannya, saya jadi paham.

Begini. Ada kebiasaan di sebagian masyarakat kita untuk saling berbalas 'isi amplop'. Contoh kasusnya kayak gini. A lagi punya hajat nikah. B diundang trus dia ngasih amplop. Lain waktu kalau B punya hajat entah nikahan atau khitanin anaknya maka A juga di undang. Nah pas diundang tuh, A ngasih amplop minimal sebesar yang pernah dikasih B waktu datang ke nikahan A. Kalau mau lebih juga tidak apa-apa.

Kebiasaan 'berbalas isi amplop' ini masih terjadi di sebagian masyarakat kita. Baik di pedesaan maupun perkotaan. Kebiasaan ini lalu berkembang menjadi suatu keharusan yang kemudian jadi kewajiban tak tertulis. Sewaktu pembukaan amplop setelah selesai hajatan biasanya ada acara pencatatan. Pak ini atau Bu ini berapa rupiah isi amplopnya atau isi kadonya. Sampai segitunya? Ya, masih banyak masyarakat kita yang melakukan hal ini.

Padahal kita tak pernah tahu apa yang terjadi di masa depan. Misalnya, sewaktu A menikah, B memberi amplop berisi 500 ribu. Pada waktu menikah, kondisi keuangan A dan keluarganya sedang bagus. B memberikan jumlah sekian atas asas kepantasan. Nah, sewaktu B punya hajat qodarullah kondisi ekonomi A sedang bermasalah. A hanya bisa memberi 100 ribu. Pada daerah tertentu hal seperti ini bisa jadi masalah. Bisa jadi obyek sasaran gosip. Mungkin juga akan menimbulkan percecokan. 

Ah, Ugik lebay. Ya begitulah adanya *nyengir*. Kalaupun tidak terjadi hal-hal seperti diatas, akan muncul rasa sungkan, nggak enak hati. 'Aku dulu diamplopin segitu, masak cuma ngasih segini sekarang'. Ada yang sampai berhutang demi untuk mengisi amplop.

Rasanya kok nggak mungkin kejadian kayak gini terjadi. Namun ya masih terjadi di sebagian masyarakat kita sampai saat ini. Bagaimana ya... Kita hidup di Indonesia. Ada banyak ragam sifat manusia maupun budaya kedaerahan yang unik. 

Komentar

  1. ah fenomena amplop hehehe ....bgmn jika amplopnya diisi doa yang indah (saja)?

    BalasHapus
    Balasan
    1. kayaknya meski di masukkin doa tetep kudu dimasukin duit juga hehe

      Hapus

Posting Komentar