Will You Marry Me?


Selama ini saya mempunyai kebiasaan untuk memeluk dan mencium murid-murid les saya. Biasanya saya lakukan ketika pertama kali datang dan pulang. Saya juga biasa memeluk atau mencium, sebagai hadiah untuk prestasi mereka.

Suatu hari, salah seorang murid saya, Dean (4 tahun) cerita kalau mendapatkan 2 bintang dari sekolahnya. Dia berhasil menyelesaikan soal hitungan tanpa salah. Saya memberikan hadiah berupa pelukan dan mencium keningnya. Tiba-tiba dia melepaskan pelukan saya.

Dean (D): "Miss, kenapa sih selalu peluk dan cium aku?"
Saya (S): "Karena saya sayang sama Dean."
D : "Really?"
S : "Yes. I love you."
D : "Hmm... I love you too." Dean berucap sambil tersenyum lalu mencium pipi saya. Lalu dia turun dari kursi belajarnya, meraih tangan kiri saya lalu berlutut dengan kedua lutut menempel di lantai. "Miss, will you marry me?"
S : ..... (hening). Saya melihat dia dengan 'blank'. Seluruh kosakata yang selama ini bertumpuk di kepala tiba-tiba pergi semua entah kemana.

Mak... aku dilamar bule ganteng.
Tuing... melayang tinggi.
Umur 4 tahun. Gubraks!
Maafkan ganteng, saya tidak sabar menunggumu 20 tahun lagi hehe...

Well... tenang Ugik... tenang... Saya mengajak Dean bicara. Ternyata oh ternyata. Dean pernah bertanya kenapa papa dan mamanya suka memeluk dan mencium (orang tuanya memang terbiasa saling mencium dan memeluk di depan anak-anak) Dean diberi tahu mamanya karena papa dan mama saling mencintai. Mereka saling mencintai, lalu keduanya pun menikah.

Jadi dalam persepsi Dean, kalau dua orang saling memeluk dan mencium artinya mereka saling mencintai lalu menikah. Jangan tanya saya darimana dia tahu soal 'posisi' melamar itu. Akhirnya saya menjelaskan panjang lebar tentang kesalah pahaman ini. Tentu dengan melibatkan Mamanya. Namun, yang pasti, semenjak saat itu, saya jadi bahan ledekan Mama Dean dan susternya.


Foto: koleksi pribadi

Komentar

Posting Komentar